Semalam Mengembara di Lautan

Ketika SMA aku punya teman bernama Ning. Ayahnya seorang nelayan. Aku sering berkunjung ke rumahnya saat akhir pekan tiba. Tak ada angkutan umum menuju ke rumahnya kecuali ojek. Jarak begitu jauh jika ditempuh dengan ojek tentu berongkos mahal, apalagi bagi anak-anak kost seperti kami dengan jadup (jatah hidup)yang sangat minim. Dalam sebulan, tak berhutang saja sudah bagus, terlebih sampai bisa pergi jauh dengan naik ojek, wah itumah langka, sebuah kemewahan. Makanya kami tak segan menempuh jarak berkilo-kilo meter itu dengan berjalan kaki. Tapi karena berjalan ramai-ramai dan suasana hati juga gembira, maka jarak yang demikian jauh tak begitu terasa. Paling sesampai di tempat tujuan baru terasa betapa lelah dan pegalnya kaki kami.

Rumah temanku yang sangat sederhana itu terletak di seberang sungai yang tak begitu jauh dari muara laut. Pada suatu sore yang indah ketika baru saja sampai, ku lihat tiga orang adik laki-laki Ning bersama ayahnya sedang bersiap untuk melaut. Mereka menawariku untuk turut. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengiyakan tawaran itu. Aku ingin mengalami sensasi berpetualang pada malam hari di lautan.

Tepat pukul lima sore, rombongan kami yang terdiri dari ayah, ibu, tiga orang adik, Ning dan aku, dengan penuh suka cita berangkat ke laut. Kami sudah memutuskan untuk bermalam di bagan, rumah-rumahan di tengah laut yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Masha Allah alangkah bahagianya aku sore itu. Pertama, kami menyusuri sungai sejauh sekitar 1km menuju muara laut dengan disuguhi pemandangan hutan bakau di sisi kanan kiri sungai. Tampak beberapa ekor kera bergelantungan dan berloncatan dari satu dahan ke dahan lain dengan riangnya seolah berucap welcome to my paradise kepada kami.

Setelah meninggalkan air sungai yang berwarna kecoklatan mulailah perahu motor yang kami tumpangi merambah air laut yang masih tampak hijau sebagai tanda dasarnya masih dangkal. Dengan gembira aku menyentuh dan bermain air kecepak-kecepuk sampai perahu yang mengangkut tujuh penumpang itu merambah zona biru dan terbentanglah di hadapan kami lukisan alam yang megah dan seolah tanpa batas itu yang merepresentasikan keagungan Sang Penciptanya. Angin laut berhembus dengan kencang menelusupkan hawa dingin ke sekujur tubuhku. Saat sampai di bagan nuansa kehitaman telah menyelimuti alam raya. Mesin perahu dimatikan dan petualanganku yang serupun dimulai.

Mengembara di Lautan

Mengembara di Lautan

Perahu berguncang hebat diterpa angin kencang dan ombak yang dahsyat. Dalam keadaan demikian, kami, satu-persatu harus meloncat menaiki tangga di tiang bagan. Bagi keluarga Ning, pasti hal ini sudah biasa. Tapi buatku ini adalah hal yang luar biasa. Kubayangkan seandainya aku gagal melompat,terpeleset jatuh ke laut dengan keadaanku yang tak bisa berenang, maka matilah aku tenggelam di telan kubangan raksasa itu. Atau jika apes kakiku terjepit di antara perahu dan tiang bagan, maka putuslah. Ohhh … aku benar-benar stres karena takut dan terus diliputi keraguan. Tapi tak mungkin juga aku tinggal sendiri di atas perahu yang terus terguncang-guncang, dan kalau sampai perahunya terbalik, maka mati jugalah aku.

Sungguh dilematis bagi orang yang tak cukup nyali sepertiku. Di tengah perjuanganku untuk meloncat ke bagan itu, ku dengar orang-orang di sekitarku terus menyemangati dan meyakinkan bahwa aku bisa. Dengan terus berdoa dan mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya, yessss…! Berhasil juga aku melompat dengan selamat.

Sesampai di atas bagan, setelah menghidupkan lampu petromak, para lelaki itu berenang-renang di tengah laut memasang jaring. Air laut  yang dingin disertai ombak yang besar tak mereka perdulikan demi berkumpulnya ikan-ikan yang akan merasa tertarik dengan cahaya lampu petromak itu.

Sembari menunggu ikan masuk jaring, kami mengobrol ke sana kemari. Satu hal yang sangat berkesan bagiku sampai kini adalah kami mengolah cumi-cumi imut hasil tangkapan malam itu dengan menggunakan bumbu air laut saja dan memasaknya di atas lampu petromak. Dalam kondisi darurat, makanan yang dimasak ala kadarnya itupun ludes kami santap dan terasa sekali nikmatnya. Sungguh indah sebuah kebersamaan.

Kian malam udara kian dingin menembus tulang belulang hingga membuatku susah sekali bernafas. Obat flu yang kuminum tak mampu menghalau rasa dingin yang menusuk dan membuat hidungku tersumbat. Sepanjang malam aku benar-benar tersiksa, tak sedikitpun mampu terlelap. Walau mata ini sudah kupejamkan sekuat tenaga, tetap saja aku tak bisa tidur karena proses menghirup udara malam itu menjadi perjuangan yang berat ditambah dengan perutku yang tiba-tiba saja memberontak dengan rasa mualnya yang membuatku mengeluarkan segala apa yang bisa kumuntahkan.

Di tengah kondisiku yang sedang megap-megap itu tiba-tiba timbul pikiran-pikiran menakutkan. Bagaimana jika angin kencang dan ombak  dahsyat ini merobohkan dan menghayutkan bagan ini? Matilah kami semua ditelan lautan yang ganas. Tanpa dapat kucegah, malam itu aku terus saja berpikir tentang kematian yang bagi sebagian besar manusia merupakan hal yang paling menakutkan, termasuk untukku. Aku takut karena belum sempat bertobat secara benar atas dosa-dosa yang pernah kulakukan, belum sempat membayar hutang-hutang yang diakibatkan oleh keadaan yang memaksaku menganut gaya hidup gali lubang tutup lubang, janji-janji yang belum kutunaikan akibat kelalaianku dan segala macam konsekuensi kematian. Sungguh mengerikan berada pada suatu titik dimana ancaman kematian begitu nyata sementara diri merasa tak punya cukup bekal untuk menghadapinya.

Keesokan harinya aku merasakan tubuhku kian parah karena apapun yang kumakan untuk mengganjal rasa lapar dan menyuplai energi selalu saja kumuntahkan. Perjalanan pulang menjadi episode yang paling berat dari seri semalam pengembaraanku di lautan. Perahu kami mogok dan gelombang laut yang menurut ayah Ning biasa-biasa saja itu, tapi sudah luar biasa bagiku, terus saja dengan lebih leluasa menggoyang-goyangkan perahu kami dengan semena-mena, mengaduk-aduk isi perutku yang sudah tak mampu lagi memuntahkan apapun, tapi terus saja memberontak. Seumur hidupku belum pernah aku merasakan penderitaan fisik sedahsyat ini. Bagiku mabuk laut merupakan puncak penderitaan fisik. Jauh lebih dahsyat dari mabuk darat. Jika mabuk di darat masih bisa menghentikan kendaraan untuk singgah sejenak, beristirahat dan mencari penawarnya. Tapi di laut, kemana hendak singgah?

Dari pengembaraan semalam di lautan itu, ternyata mampu menumbuhkan rasa empatiku terhadap pekerjaan nelayan yang selama ini tak pernah kupedulikan. Ternyata perjuangan para nelayan dalam mencari nafkah guna menghidupi keluarganya luar biasa berat. Aku yang rapuh ini, untuk semalam saja menemani mereka, sama sekali tak mampu. Aku jadi malu karena sering berkeluh kesah dengan kehidupanku yang menurutku adalah hidup yang sangat sengsara. Ternyata lewat pengembaraan semalam itu aku jadi tahu kalau ada orang yang jauh lebih sengsara dariku. Pengembaraan itu juga membuatku terkesan dengan sebuah lagu yang dinisbatkan untuk menghormati profesi nelayan.

Tak kan ada ikan gurih di meja makan. Tanpa ada jerih payah nelayan. Daging ikan sumber gizi bermutu tinggi. Diperlukan semua manusia. Tiap malam mengembara di lautan. Ombak badai menghadang dan menerjang. Pak nelayan tak gentar dalam darmanya. Demi kita yang membutuhkan pangan.

Salut buat pencipta lagu ini yang sudah dari dulu paham akan arti penting profesi nelayan bagi kehidupan umat manusia. Tapi maaf jika aku kurang gaul sehingga tidak tahu nama Anda sebagai pencipta lagu yang kini sering kunyanyikan untuk menidurkan keponakanku ini.

Lampung, Agustus 1996